Thursday, May 03, 2007

Kalau pengambil keputusan tidak punya common sense

Beberapa bulan terakhir saya dan beberapa kawan pengajar mengikuti training pengajar ekonomi. Training yang dilakukan dalam 4 seri ini punya tujuan yang sebenarnya sederhana saja: mempersiapkan anak-anak dengan kemampuan membuat keputusan (yang tepat) sehingga siap menghadapi kehidupan nyata..

Yang kami pelajari bukan teori ekonomi yang luar biasa rumit penuh dengan angka-angka. Tapi teori ekonomi yang sama sama saja hanya dengan penyampaian yang luar biasa. Anak-anak tidak dididik untuk menghafal teori, tetapi mempertajam common sense.

Kalau saya membaca tempo minggu ini, mungkin menteri kesehatan dan jajaran dirjennya, perlu jadi peserta training ini. Bukan cuma karena mereka sebagai policy maker tidak tahu ekonomi, tapi lebih parahnya, tidak punya common sense.

Harga Mahal? Turunkan pake surat!

Menteri kesehatan menilai harga obat dipasar mahal. Bahkan obat generik. Sebagai bagian amanat dan janji pemerintahan kabinet sekarang, cita-cita mulia nya adalah menurunkan harga obat. Tanpa tahu asal muasal mahalnya harga obat, yang dilakukan bu menteri adalah: Buat surat edaran, harga obat HARUS turun.

Kalau anda produsen obat, diminta menjual produk anda dibawah harga produksi, apa yang kemudian akan anda lakukan? Asumsi anda tidak lulus SD pun, saya yakin yang anda lakukan cuma satu: tutup warung.

Kalau warung anda tutup, dan stok obat di pasar hilang seketika, kira-kira apa yang terjadi? Ibu saya yang cuma lulusan sekolah menengah bisa dengan mudah menjawab: wah barang langka itu mahal.

Jadi mudah ditebak, surat menteri tidak membuat harga obat jadi turun, tapi sebaliknya, orang miskin makin susah, karena obat generik susah dicari. Walhasil, obat import yang lebih mahal harus ditebus.

Ini salah resep keputusan atau permainan dengan produsen obat import?
Kalau anda pun curiga, saya rasa sah sah saja.

Infus Otsuka tidak steril. Ganti punya Sanbe.

Entah anda pernah perhatikan atau tidak, selama ini yang saya tahu setiap saya masuk rumah sakit sebagai pasien atau pengunjung saja, infus yang ada di gantungan hampir semuanya merk Otsuka. Tidak salah pengamatan saya ternyata karena memang Otsuka menguasai 80% pasar infus di Indonesia.

Belakangan kurang lebih setahun lalu, Sanbe Farma punya produk serupa yang dibuat dengan teknologi berbeda. Sama sama infus, hanya meng-claim lebih steril karena proses sterilisasinya berbeda: dengan pemanasan 121 derajat celcius selama 15 menit. Dan Sanbe adalah satu-satunya produsen yang menggunakan teknologi ini. Sebagai infus yang lain sendiri, harga infus buatan Sanbe ini, cukup 2 kali lipat saja dibanding infus standard.

Tak lama setelah produk di launching, keluarlah surat edaran dari Dirjen Bina Pelayanan Medik, Depkes, isinya kurang lebih: Dilarang pakai infus selain yang disterilkan dengan cara pemanasan 121 derajat celcius selama 15 menit (baca: Sanbe Farma punya!).

Mudah ditebak, kemudian infus sulit dipasaran. Otsuka drop penjualannya dan Sanbe kemudian mulai dipakai banyak rumah sakit selain juga infus import yang harganya masih lebih murah ketimbang buatan Sanbe.

Depkes tidak sendirian disini, kemudian berbondong-bondong komisi kesehatan DPR ikut urun rembug dan urun keputusan yang isinya lebih menggelikan: rumah sakit kalau ada pilihan yang baik kenapa pilih yang buruk, pakai saja punya SANBE. Ini bukan sihir, tapi nama Sanbe jelas jelas disebut. Jadi, jaman sekarang, perusahaan pun bisa punya staff marketing di DPR.

Kalau selama bertahun-tahun tidak ada orang mati karena pakai infus standard, tidak ada justifikasi medis yang tentang spesifikasi pembuatan infus, lantas dari mana ide meng-haramkan satu produk atas nama sterilisasi yang salah ini??

Yang lebih parah, akibat munculnya pelarangan tanpa sebab ini, infus menjadi langka, operasi di beberapa rumah sakit harus di reschedule, dan biaya berobat menjadi makin mahal. Anehnya lagi, infus yang sama saja kasiatnya tapi jauh lebih mahal harganya ini, masuk dalam daftar obat ASKES. Artinya, ketimbang menggunakan infus yang lebih affordable, ASKES membeli infus yang mahal. Duit siapa ini?

Saya tidak tahu apa yang ada dikepala orang-orang ini. Apakah mereka berpikir rakyatnya semua tidak lulus SD?

Lagi-lagi dengan ringan, supir kantor saya (yang tidak makan bangku sekolah medik ataupun ekonomi) pun bisa menjawab: Alah, itu sih kongkalikong pengusaha sama pejabat!

|

indonesia

"Poetry is a way of taking life by the throat.." Robert Frost (1874-1963)