Monday, April 19, 2004

cerita tanpa judul..

baguslah kalau kita dapat mendapat makna dari tiap kata yang kita baca,
tapi sebenarnya makna tidak ada didalam kata
tapi didalam riak hati anda….”


Antrean panjang bukan pemandangan baru.
Musim dingin yang baru mulai ternyata sudah hendak diusaikan oleh billboard-billboard dan etalase-etalase toko yang bertuliskan ”winter sale”.
Ah kasian kau winter, tak lagi kau usai menghembuskan nafas dinginmu, sudah hendak kau dibuat mati…

Antrean panjang bukan pemandangan wagu..
Manusia menepiskan dinginnya malam dan berlomba menghantarkan diri di depan pintu kelontong besar..
Walaupun bukan kelontong, tapi mirip kelontong kataku..
Dulu aku bertanya kepada ibuku apakah kelontong itu..dalam otakku itulah pasti ada hubungannya dengan lontong. Bungkusan daun yang berisi nasi padat. Kata ibuku, kelontong itu toko yang menjual barang sehari-hari, macam-macam jualannya, barang dapur istilahnya..

Ah toko-toko didepanku juga kelontong atau malah dapur....
Isinya mulai dari celana dalam sampai barang elektronik paling canggih dimasa ini. Jaman yang sudah berbeda, arti dapur pun bagiku sudah bergeser. Dapur yang seharusnya adalah tempat memasak, tempat mempersiapkan santapan untuk mengisi badan agar tetap hidup, saat ini sudah begitu luas isinya. Mulai dari celana dalam sampai barang elektronik..

Orang mana bisa hidup tanpa telepon genggam. Gugup tanpaknya kehidupan tanpa sikecil yang bersuara itu. Sama seperti ibuku yang gugup karena kompornya rusak dan tidak bisa hidup tanpa periuk nasi. Mungkin memang benar saat ini sendoknya orang bukan lagi berbentuk bulat dan pipih, tempat untuk menyaruk nasi dan kemudian masuk mulut. Tapi bentuknya berubah menjadi bulat yang bisa
mengeluarkan suara dan juga menyimpan gambar. Hape namanya. Alat menyaruk suara dan informasi untuk menjadi nasi sesudahnya..

Antrean panjang bukan pemandangan saru...
Udara dingin yang masih menusuk tidak mengurungkan niat baik para ibu, bapak, anak, tante dan om untuk segera pulang. Antrean itu masih ada. Besar sekali niat mereka untuk sekedar mendulang barang dengan harga yang katanya miring. Ah mungkin itu pikirku saja yang mengatakan ”sekedar” barang buat mereka itu mungkin lebih dari ”sekedar” . Sekedar nya aku jelas berbeda dengan sekedar nya mereka. Itulah mengapa aku lebih sibuk memandangi daripada ikutan bergabung
dalam ruak sleeping bag yang menemani mereka berkerumun didepan dapur..
Yah dapur moderen...

Kalaupun mereka melihat aku mungkin mereka berpikir; daripada sama sakitnya berdiri ditengah dingin, lebih baik kau disini mengais harapan bersama kami menunggu pintu untuk dibuka..

Antrean panjang pun masih laju..
Aku masih sibuk memandangi orang-orang itu walaupun itu berarti aku harus berdiri dipinggir jalan beratap awan, sama dinginnya. Bukan sulap bukan sihir, tapi hipnotis akan antrean panjang itu begitu membuatku terkesima. Benarkah ini adanya, manusia menahan dingin untuk sebuah stereo set yang katanya dijual dengan hanya seperempat harga aslinya? Lalu berapa harga dinginnya udara malam ini?

Ah lagi-lagi aku melihat semuanya dari hargaku. Tentu saja buatku pemanas ruangan dengan secangkir kopi panas lebih berharga. Tidak mendengarkan musik melalui stereo set canggih pun buatku tidak masalah. “Gak pa-the-en” demikian kata orang jawa, termasuk juga jawaban kondang mantan pemimpin negeriku saat diusir dari tahtanya.
Yang artinya kurang lebih sama dengan “tidak sudi”

Antrean itu makin lucu..
Dan ketika malam sudah mulai menghunjam dan aku sudah tidak bisa menahan dingin, aku beranjak pergi. Melewati kerumunan orang yang khusuk membaca daftar barang yang dijual murah.
Jangan lupa beli vitamin kataku dalam hati. Karena aku yakin besok lusa kau sakit. Haha sekali lagi aku sok tahu dengan pikiranku. Masih lucu buatku, melihat manusia berkumpul untuk dapat masuk ke sebuah dapur besar berisi banyak barang pemuas lapar. Lapar akan teknologi dan harga miring. Demikian sulitnya mencari barang murah? Atau memang harus mahal supaya dicari orang..
Ah penantianmu jauh lebih mahal daripada barang itu sendiri. Untung negerimu menjamin biaya perawatan badanmu (walaupun tidak jiwamu). Seandainya kau harus bayar semua resiko sakitnya, apakah kau akan terus menanti diujung jalan seperti ini?

Antrean itu masih panjang...
Jalan sudah kulewati dan aku sudah hampir diujung simpangan, tapi tampaknya antrean masih ada disana-sini. Ah kalian memang pejuang. Wahai pemilik pintu tak ibakah engkau melihat anak-anakmu berkalang angin dan dinginnya malam?
Apakah ini permainan yang mereka buat sendiri tanpa niatmu atau memang ini maumu? Bukalah pintumu lebih cepat. Kasian mereka..

Haha lagi lagi aku sok tahu..
Aku bayangkan jawaban pemiliknya:
Aku harus mempersiapkan isi rumahku, atau dapurku seperti katamu. Aku ingin tamuku melihat semuanya dalam keadaan rapih.
Ah pikirku, aku rasa mereka bisa ”merapihkannya” dalam sekejap tanpa kau atur-atur isinya..
Asalkan kau ”rela” untuk mereka segera masuk..
Mungkin ini permainanmu saja..
Kau jual ilusi dengan katalogmu...
Bagaimana kalau saat mereka masuk pun semuanya masih belum rapi?

Jawab si pemilik pintu: wah aku tidak tahu..
Karena begitu mereka masuk yang kulakukan hanya menjaga meja kasir agar mereka membayar barang yang mereka ambil..
Tapi paling tidak aku sudah berusaha bukan??

Antrean itu sudah tidak tampak..
Aku mendekat ke rumahku..
Penat badanku, tak sepenat mereka yang mengantre tampaknya..
Yah semoga kau dapat apa yang kau tunggu nak..
Bukan menuai mimpi-mimpi katalog itu pikirku..

Aku sudah menginjak rumah..
Realita yang lebih indah, batinku….
Walaupun yang ditawarkan tak sehebat dapur besar itu,
paling tidak masih menjanjikan kopi hangat untukku....

Diantara jelaga, 10 januari 2004
***penantian untuk secangkir kopi hangat

|

0 Comments:

Post a Comment

<< Home

indonesia

"Poetry is a way of taking life by the throat.." Robert Frost (1874-1963)