Monday, April 04, 2005

TUK, suatu siang....

Teater Utan Kayu, teater kecil dipojokan jajaran ruko disalah satu sisi di jalan Utan Kayu. Satu sms undangan nonton pemutaran film mendarat. “Ketemuan yuk!”

Tempatnya bukan tempat asing, tapi menonton film pendek dengan audience yang beragam seperti hari itu, baru kali ini. Seorang kawan yang kebetulan pembuat film bersama dua kawan lainnya, mempertontonkan karyanya. Karya yang durasinya tidak sampai 10 menit per filmnya, diputar bersama.

Hingga akan dimulai, saya tidak punya pikiran atau harapan mengenai apa yang akan saya tonton. Ide datang hanya sesederhana ingin bertemu kawan lama. Lagipula, dalam sekian tahun saya mengikuti cerita mengenai karya-karyanya, baru hari itu saya benar-benar melihat hasilnya, untuk pertama kali.

Satu persatu film diputar. Mulai dari tema supporter bola, musik underground hingga seorang kara, gadis kecil yang ditinggal mati ibunya.

Sedikit mengangguk dan tak jarang mengernyitkan dahi. Respon standard menonton film pendek. Durasinya yang tidak panjang sering menyimpan banyak pertanyaan. Penonton mereka reka, apa mau dikata oleh sang pembuat film. Gambar-gambar singkatnya, kadang nggak nyambung (dengan nalar-ups!). Penonton kadang juga dibuat terlena dengan gambar gambar cantik yang kemudian berubah menjadi gambar yang berputar putar entah apa maunya. Lalu ceritanya apa?

Pertanyaan seputar makna beberapa kali ditanyakan dalam sesi tanya jawab setelah pemutaran. Berharap jawaban yang rumit, kadang penonton malah diberi jawaban yang sederhana. Sesederhana “what you see if what you get“ . Bahwa memang apa yang ada dilayar itulah yang mau ditunjukkan. Tapi seolah jawaban sederhana serasa aneh. Harusnya ruwet, harusnya penuh makna, harus filosofis.

Filosofis nya film malah dijawab oleh sang pembuat dengan kombinasi media yang dipakai. Gabungan seluloid 16mm dan mini DV misalnya. Hanya untuk menampilkan gambar yang puitis dan realis dalam satu rentetan 9 menitnya (ehem!)

Ceritanya sulit? Kata pembuat nya sih, tidak.

“Gua mau bikin film pendek yang gampang ditonton”
demikian sang kawan sempat menyampaikan niatnya diujung hari.

“habis semua orang kayanya pusing nonton film pendek”

Mungkin memang film pendek nggak gampang dipahami. Mungkin juga penontonnya yang sudah berlebihan harapan akan menangkap makna yang nggak mudah ditelanjangi. Mungkin juga, mungkin juga. Juga mungkin karena kita belum banyak menonton film pendek.

TUK disuatu siang...
Teater Utan Kayu, teater kecil dipojokan jajaran ruko disalah satu sisi di jalan Utan Kayu. Hingga pulang pun tanpa pikiran atau bayangan pasti tentang apa yang barusan saya tonton. Tapi yang pasti, bukan satu-satunya siang yang menyampaikan serentetan gambar-gambar yang katanya disebut film pendek. Setiap minggu pertama setiap bulan, jam 15.00.

Hanya di TUK, siang siang..

**
TUK, suatu siang..
gue jadi cerdasan dikit!
buat ucup, ucu, edwin, thanks :)

|

0 Comments:

Post a Comment

<< Home

indonesia

"Poetry is a way of taking life by the throat.." Robert Frost (1874-1963)