Tuesday, April 20, 2004

teh lemon panas..

Hari ini kamu bantu margareth di kamar VIP yah..
Jangan lupa senyum yang lebar..


Satu buah bangsal dengan dua puluh kamar VIP ada didepanku. Margareth, kepala koki bangsal VIP, menemaniku berkeliling untuk mengenali satu demi satu pasien yang berada disana. Kamar nomor empat, William Darrington.

Pak Darrington, pria tujuh puluh tahun yang agak botak itu mengangguk padaku segera setelah Margareth mengenalkanku padanya. Dengan senyum yang sangat irit dan sedikit picingan mata Pak Darrington melihatku. Lelaki ini sekilas mirip Sean Connery, pikirku, mas James Bond itu, hanya Sean Connery yang ini, wajahnya cenderung galak.

Bapak ini terkulai dikasurnya. Kasur lengkap dengan ranjang elektronik yang bisa digerak-gerakkan. Disamping kasurnya ada sebuah bangku dan meja kecil, tempat biasanya makanan diletakkan. Bangku itu kosong, hanya ada satu dua koran keluaran hari itu, tersusun diatasnya.

Pak Darrington ini mematahkan sedikit nyaliku hari itu. Saat aku menawarkan minuman hangat di sore hari, dengan pandangan yang menghunjam dia memandangku. Beberapa detik aku tercekat, tidak tahu harus berkata apa. Sampai kemudian dengan wajah datar dia mengatakan ’teh lemon’. Aku tersenyum, ah pak, kau menakutiku.. Aku meletakkan secangkir teh lemon panas buatanku di meja kecil disamping kasur Pak Darrington. Ia mengangguk, sedikit saja. Aku rasa itu artinya terima kasih. Aku mengangguk kembali dan berkata 'sama-sama', untuk menjawab terima kasihnya yang tak terucap.

Hari berganti dan aku mulai hafal minuman kesukaannya. Tanpa aku tawari, aku memasuki kamarnya dengan secangkir teh lemon panas, tak lupa setanggal senyum paling manis di bibirku. Wajah kaku tanpa senyum itu pun hari demi hari berganti, mulai mengikutiku, sedikit senyum mulai tersungging dibibirnya meski tetap tanpa suara. Ada kelegaan dihatiku, ia memperhatikan aku. Ah aku kira kau batu dengan default garang pak, yang tidak akan pernah berubah, irit senyum dan jarang bicara. Ternyata kau bisa benar-benar mirip Sean Connery, meskipun versi film bisu..

Ketakutanku untuk memasuki kamarnya berkurang sudah. Senyum yang tanggal di bibirku sudah bisa lebih lepas dari saat pertama kali aku pasangkan hari itu. Jawaban manis dari Pak Darrington sudah mulai aku dengar, sepenggal terima kasih yang lirih bersamaan dengan anggukkan kecilnya. Dan kembali aku menjawab anggukannya dengan salam 'sama-sama'. Aku semakin senang membawakannya teh lemon panas. Minuman kesukaannya. Kuletakkan dimeja kecil disampingnya, didepan sebuah bangku, yang lagi-lagi kosong.

Hari berikutnya Pak Darrington mulai mengajakku berbicara. Salam pertamanya bertanya mengenai namaku, kemudian diikuti pertanyaan-pertanyaan lain yang mengisi guntinganku. Dimana sekolahku, apa studyku dan yang paling sering ia tanyakan, meskipun aku sudah menjawabnya berkali-kali adalah: jam berapa aku akan tiba dirumah.

Aku semakin senang bercengkrama dengannya, meskipun tidak lebih dari hitungan menit satu digit. Aku biarkan ia bertanya mengenai diriku tanpa pernah aku sela dengan pertanyaan tentangnya. Bukan karena aku tidak tahu harus bertanya apa, tapi aku pikir memang tidak ada yang perlu ditanyakan. Yang penting buatku Pak Darrington tersenyum. Tentu saja setelah aku membuatkan secangkir teh lemon panas untuknya.

Senyum yang lebar ya Pak, biar lekas sembuh..
Wajah penuh senyum Bapak mulai mirip bapakku (tanpa bermaksud bilang bapakku mirip Sean Connery loh). Bedanya bangku disisi kasur bapakku selalu terduduk ibuku yang menyediakan tangannya untuk digenggam erat. Disini Pak Darrington punya tangan saya, kalau mau bapak genggam, asal bapak tersenyum.
Jangan tangan ibu saya, karena sudah diambil bapak saya :)
besok sore, saya bawakan teh lemon panas lagi ya Pak..
Bapak masih mau kan...
..

|

0 Comments:

Post a Comment

<< Home

indonesia

"Poetry is a way of taking life by the throat.." Robert Frost (1874-1963)