menemani
Suara itu, kurasa dekat.
Perlahan menghilang, kurasa hanya rindu.
Bergelimang tanya mengapa.
Rindu bukan sahabat, bukan pula saudara.
Mengenalnya aku lamat-lamat saja.
Diluaran kuceritakan hanya kekonyolan-kekonyolan.
Betapa rindu sedang mengintip-intip jendela kamarku, sementara aku bertumpuk selimut hanya mencibir seadanya.
Kepada karib hanya kuucapkan kalimat-kalimat singkat tak berminat pada rindu.
Seolah hariku cukup indah tanpa rindu.
Aku menipu.
Suara itu melekat, sebenarnya.
Tanpa banyak kata ia hanya menyatakan kedekatannya.
Aku merindukannya, meski lamat-lamat, mauku.
Bergaung, membahana disisi kosong yang berserakan.
Sisi kosong yang kubiarkan kosong, seada-adanya.
Asal bersih tak berdebu, tak apalah.
Suaranya memenuhi ruangan-ruangan tadi, tidak sampai penuh.
Tapi cukup untukku mencari, penasaran.
Dimana ia duduk menunggu.
Menunggu dengan amat tekun tanpa kantuk.
Tanpa lelah.
Masih ditandai dengan senyum, yang seolah kain ibu-bu pesinden yang licin, tanpa kusut.
Kecuali memang rindu bukan sahabat, bukan pula saudara.
Aku tahu dimana dia termangu, sambil menuliskan namaku ditanah.
Tertawa riang bergaung didalam gua, seolah ramai disana.
Dan aku ikut tergelak, setiap kali ia menggores namaku.
Ia mengedipkan sebelah matanya sambil tertawa riang.
Tanpa nyanyian.
Diantara gerimis.
Disaat senja turun.
Membaui rumput.
Ia duduk disitu.
Menungguku.
Melihatku.
Mengharapkanku hanya satu.
Aku bahagia.
Aku hanya ingin duduk.
Tanpa nyanyian.
Diantara gerimis.Disaat senja turun.
Membaui rumput.
Disampingmu.
Menemani.